BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam fatwa-fatwa lembaga keagamaan di Indonesia terkait dengan masalah pidana maupun perdata sangat berpengaruh dalam masalah-masalah yang kontemporer. Oleh karena itu banyak pertimbangan di sebuah fatwa baik dalam merevisi beberape ketentuan ataupun peraturan perundang-undangan untuk menegakan kemaslahatn umum dan mencegah maraknya suatu tindak pidana yang dikarenakan kesulitan pembuktian material.
Sejauh ini bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang berwawasan Islam, mampu menunjukan bahwa Islam rahmatallilalamin agar tidak menjadi sasaran kejelekan dari oknum masyarakat. Dalam makalah ini penulis sedikit memaparkan fatwa kelembagaan (MUI, NU, Muhamadiyah) terkait denga masalah piadanaIslam dalam konteks NKRI, terorisme, asas pembuktian terbalik dan hukuman mati atas tindak pidana tertentu.
B. Rumusan Masalah
1. Fatwa Kelembagaan Indonesia terkait Terorisme?
2. Fatwa Kelembagaan Indonesia tentang tindak pidana asas pembuktian terbaik?
3. Fatwa Kelembagaan Indonesia tekait dengan hukuman mati atas tindak pidana tertentu?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Fatwa Kelembagaan Indonesia terkait Terorisme
Terorisme yang terjadi di berbagai Negara khususnya di Negara kita ini sangat meresahkan dan banyak menimbulkan korban harta dan jiwa serta rasa tidak aman dikalangan masyarakat. Tindakan terorisme terjadi bebe-rapa persepsi: sebagian mengang-gapnya sebagai ajaran agama Islam, dan karena itu, ajaran agama Islam dan umat Islam harus diwaspadai sedang sebagian yang lain menganggapnya sebagai jihad yang diajarkan oleh Islam dan karenanya harus dilaksanakan walaupun harus dengan menanggung resiko terhadap harta dan jiwa sendiri maupun orang lain.
Lembaga keagamaan Indonesia yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yaitu hasil ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indone-sia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang Terorisme. Dengan menimbang, mengingat dan memperhatikan beberapa alasan MUI memutuskan mengeluarkan fatwa haram terhadap terorisme. Menurut KH. Ma'ruf Amin (Ketua Majelis Ulama Indonesia) berkata: "Kita juga telah mengeluarkan fatwa haram terhadap terorisme " ujarnya. Kemudian ia menambahkan, pihak pihaknya tidak ingin pemberantasan terorisme justru memojokan umat Islam, yang justru menambah masalah baru. Karena terorisme tidaklah identik dengan Islam. Terorisme juga bukanlah jihad, dan pihaknya telah mengeluarkan fatwa haram terhadap terorisme dikarenakan menimbulakn kerusakan, ketakutan dan sasaran tidak jelas," ujarnya. Kemudian adanya peningkatan aktivitas teroris akhir-akhir ini perlu diwaspadai. Namun, dalam teknis pengungkapannya, ia mengharapkan pengejaran dan pemberantasan yang dilakukan aparat tidak menstigmanisasi Islam. Ia sependapat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan tindakan tegas terhadap para teroris. Namun, ia menegaskan jangan asaln tangkap dan membuat seolah-olah mendiskreditkan Islam.
Terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah dalam khazanah fiqih Islam. Para fuqaha mendefinisikan al-muharib (pelaku hirabah) dengan:
“Orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka (menimbul-kan rasa takut di kalangan masyarakat).” Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Terorisme, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desem-ber 2003. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.
Prof. Azumardi Azra, Gurubesar Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah,(18/02/2010) memberi saran kepada Muhammadiyah agar di masa mendatang perlu mengembangkan dakwah yang lebih personal. Dalam Seminar Peran Muhammadiyah dalam Perkembangan Global di kampus Univ. Muhammadiyah Jakarta, Azumardi menerangkan bahwa perlunya dakwah yang lebih personal ini penting karena bisa mengantisipasi gejala berkembangnya radikalisasi dalam anak muda Islam dan juga perkembangan masalah baru seperti adanya anak-anak yang kabur dari rumah karena kenal dengan seseorang di jejaring sosial seperti Facebook.
Azumardi menerangkan bahwa sebenarnya strategi dakwah Muhammadiyah dengan dengan dakwah lisan maupun dengan amal usaha sudah cukup berhasil, namun dakwah yang lebih personal seharusnya menjadi perhatian. “Anak-anak muda yang direkrut oleh jaringan radikal mengalami pendekatan secara personal, mereka mengalami konversi hingga cuci otak tentang pengertian jihad menurut mereka.” terang Azumardi. “Dalam kasus Ritz Carton dan Mariot parapelaku cenderung masih muda.” lanjutnya.
Menurut Azumardi, dakwah Muhammadiyah terlalu impersonal, perlu lebih personal, sehingga semangat kedekatannya lebih diperkuat lagi, Teroris dari kalangan Muhammadiyah. Lebih lanjut Azumardi mengingatkan bahwa pelaku terorisme di Indonesia, cukup banyak yang punya latar belakang Muhammadiyah. “Orang-orang lamongan itu latarbelakangnya Muhammadiyah, ini perlu diantisipasi.” katanya. Menurutnya organisasi seperti Muhammadiyah terlalu besar untuk diganggu oleh elemen-elemen radikal tersebut” lanjutnya.
Munculnya kecenderungan keras dari warga Muhammadiyah tersebut karena Muhammadiyah menurut Azumardi pada dasarnya adalah Salafi. “Namun Salafinya Muhammadiyah berbeda dengan salafi-salafi yang lain, karena adaptif dengan pemikiran-pemikiran modern, sehingga ada panti asuhan, lembaga pendidikan dan sebagainya” terangnya. “Makanya salafinya lebih lunak” lanjutnya.
Menurut Azumardi, ketika ada wacana kebangkitan Islam sekarang,ada orang-orang Muhammadiyah yang cenderung menjadi lebih keras. “Saya usul kepada Rektor seperti UMJ ini, agar auditorium ini diberi hiasan, seperti kaligrafi, karena dengan adanya seni, bisa lebih lunak.” usulnya. “ Hal-hal yang bersifat seni perlu dikenalkan di lembaga Muhammadiyah, agar tidak terlalu keras, agar tidak menjadi kering keagamaannya.” pungkasnya.
Kemudian Nahdlatul Ulama menuturkan minta jauhkan agama dari terosrisme. Persoalan terorisme menjadi salah satu perhatian dalam muktamar NU ke-23 di Makasar. Komisi Rekomendasi mengeluarkan sejumlah point penting terkait isu terorisme, diantaranya meminta Negara dan kelompok masyarakat untuk menjaga agama agar tidak di bajak terorisme yang mengatasnamakan agama. Menurut ketua tim rekomendasi, KH. Masykuri Abdillah, ada setigma yang cukup menyakitkan yang mengaitkan terorisme dengan Islam. Ia mengatakan, untuk memerangi ideology yang berbeda salah satu langkah yang ditempuh adalah tetap memegang teguh ideology bangsa yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Prinsipnya, memberantas terorisme ada du macam. Pertama, secara cultural dengan memerangi ideologi dan pemahaman yang salah. Kedua, memerangi secara fisik dengan penegakan hokum oleh aparat, yakni TNI dan POLRI, cetus masykuri di makasar.
Diakui sebagian dari kelompok-kelompok konservasi radikal, sebenarnya dipengaruhi oleh gerakan transnasional. Kelompok-kelompok tersebut, menurutnya telah mengarah pada sikap tidak toleran, kekrasan dan ekstrimisme, bahkan mengarah terorisme dengan legitimasi jihad. Penyebaranya tersebut banyak melului berbagi cara. Tidak hanya melalui mesjid-mesjid, namun juga melalui jalur pendidikan formal.
Terkait dengan hal tersebut, Muktamar NU merekomendasikan agar pemegang otoritas, seperti para tokoh agama, mubaligh dan tokoh pendidik untuk lebih menyadari bahaya berkembangnya paham Islam Radikal terhadap kehidupan bangsa.
Selanjutnya pada harian Republika Senin, 27 September 2010 terjadi aksi perampokan oleh teroris. Disini Muhamadiyah dan NU mengecam aksi perampokan tersebut. Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan tindakan merampok dengan mengatasnamakan Islam yang dilakukan oleh teroris bertentangan dengan Islam. Tindakan tersebut menggunakan Islam sebagai kedok padahal aksi tersebut adalah murni kriminal.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah bidang Tarjih, Tajdid dan Pemikiran Agama, Yunahar Ilyas, teroris yang menyalahgunakan nama agama sama sekali tidak sesuai Islam. ''Apapun alasannya tetap saja kriminal dan tak ada kaitannnya dengan Islam,'' kata dia kepada Republika, Senin 27 September 2010. Yunahar mengatakan, anggapan teroris bahwa harta yang mereka rampok adalah fa'i atau harta rampasan tidak benar. Sebab, Harta fa'i adalah harta yang diperoleh dalam kondisi benar-banar berperang. Demikian pula pendapat mereka yang mengatakan negara Indonesia bukan darul Islam sehingga boleh merampas harta siapapun.
Akan tetapi, Indonesia adalah negara umat Muslim karena 80 persen penduduknya beragama Islam sehingga tak boleh berbuat makar. Yunahar menjelaskan, metode dan cara yang digunakan oleh teroris bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama. Sebab, ada tiga hal yang menjadi ukuran suatu tindakan dikategorikan aktivitas Islami yaitu niat, cara, dan pelaksanaan yang baik.
Ketiga hal tersebut harus berada dalam koridor syar'i jika keluar dari tuntunan agama maka dianggap tak Islami. Sekalipun niat benar misalnya, tetapi ditempuh dengan cara dan pelaksanaan yang salah maka tetap salah.
Oleh karena itu, ungkap Yunahar, pemerintah perlu melakukan penanganan yang komprehensif, jujur, dan tak punya kepentingan menyudutkan suatu kelompok. Di antaranya, pemerintah harus mencari akar pemikiran menyimpang para teroris dan melakukan upaya preventif. Sebab, penanganan yang parsial dan tak menyeluruh tak akan menyelesaikan masalah. ''Obati akar penyakit jangan hanya mengobati luarannya saja,'' kata dia.
Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj. pemerintah dituntut melakukan pengusutan secara tuntas dan meneggakan hukum bagi yang terbukti bersalah. Sebab, tindakan terorisme yang mengatasnamakan Islam tak terkecuali aksi merampok bank merusak citra luhur Islam. Agama Islam tak pernah membenarkan aksi terorisme apalagi merampok dan mencuri harta orang lain. ''Tidak sah sekalipun jihad ditempuh dengan mengambil hak orang lain,'' kata dia.
B. Fatwa Kelembagaan Indonesia tentang Tindak Pidana Asas Pembuktian Terbaik
Fatwa MUI tentang penerapan asas pembuktian terbalik pada dasaranya, seseorang terbebas dari dakwaan perbuatan salah sampai adanya pengakuan atau bukti-bukti lain yang menunjukan bahwa seseorang tersebut bersalah. Dengan demikian, fiqh Islam menganut asas praduga tak bersalah dalam hukum. Kewajiban pembuktian dibebankan kepada penyidik dan penuntut, sedang sumpah bagi orang yang mengingkarinya.
Pada kasus hukum tertentu, seperti penguasaan kekayaan seseorang yang diduga tidak sah, dimungkinkan penerapan asas pembuktian terbalik jika ditemukan indikasi tindak pidana, sehingga pembuktian atas ketidakbenaran tuduhan dibebankan kepada terdakwa.
Rekomendasi MUI, perlu dipertimbangkan untuk merevisi bebrapa ketentuan peraturan perundang-undangan, agar dimungkinkan adanya system pembuktian terbalik untuk menegakan kemaslahatan umum dan mencegah maraknya tindak pidana akibat kesulitan pembuktian material. Para penegak hukum juga diharapkan dapat menangani dan mengadili perkara korupsi sekalipun hanya menggunakan pendekatan pembuktian terbalik.
Muhamadiyah prihatin dengan pelemahan lembaga hukum. Muhamadiyah pakai pembuktian terbalik, sejumlah rekomendasi dikeluarkan dalam sidang pleno Muktamar ke-46 Muhammadiyah menyikapi perkembangan masyarakat. Maraknya praktik korupsi di hampir semua Uni kehidupan masyarakat dalam bentuk yang semakin canggih, seperti makelar kasus dan makelar pajak menjadi salah satu sorotan 1 peserta muktamar.
Oleh karena itu, segenap mukta-mirin sepakat perlunya cara-cara yang luar biasa untuk memberantas praktik korupsi. "Sudah saatnya kita menerapkan asas pembuktian terbalik. Sejauh ini pembuktian terbalik belum diatur dalam UU. Tapi, jika ada kemauan besar, bisa saja pembuktian terbalik diberlakukan tanpa bertentangan dengan konstitusi," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, usai rapat pleno komisi muktamar di UMY.
Muhammadiyah menilai pembuktian terbalik sebagai cara terbaik dalam pemberantasan korupsi. Penegak hukum pun diminta bersifat proaktif untuk memanggil siapa saja yang .diduga korupsi dengan, verifikasi harta kekayaan. Namun, agar lebih efektif, kata Din, perlu dibarengi dengan reformasi lembaga hukum baik Kejaksaan Agung maupun Kepolisian RI.
Korupsi adalah sebuah dosa besar, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Siradjuddin Syamsuddin bahkan menyatakan, korupsi adalah syirik modern karena tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatan, the power of money.
Dalam syariat Islam, tindakan syirik merupakan perbuatan yang tidak dimaafkan oleh Allah subhanahu wata ‘ala. Bila dipandang korupsi adalah bentuk dari perbuatan syirik, maka jelas para koruptor itu sejajar dengan kaum musyrik. Koruptor akan dilaknat oleh Tuhan, seperti tersurat dalam sebuah hadits Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam, “Allah melaknat orang yang melakukan suap (risywah) dan menerima suap” (Hadits Riwayat Ibnu Majah).
Sementara NU mengetengahkan pandangan bahwa korupsi itu sama dengan pencurian. Sebuah hadits mengatakan, “Mencuri tidak mungkin dilakukan dalam keadaan beriman.” Kata kafara (korupsi) bisa berarti mencuri. Ketika hadits itu memaksudkan bahwa tidak mungkin orang yang beriman melakukan pencurian, dalam hal ini korupsi, bisa diartikan bahwa ketika orang melakukan korupsi, maka hatinya tertutup, sehingga Allah pun dilupakan.
Lalu, bagaimana korupsi itu diberantas? Dijelaskan dalam buku itu, Islam telah mengajarkan asas pembuktian terbalik sebagai salah satu alternatif untuk memberantas korupsi. Padahal, paradigma ini sekarang sedang menjadi perdebatan alot di ranah hukum positif, meskipun Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Munas MUI) di Jakarta baru-baru ini telah merekomendasikan penggunaan asas pembuktian terbalik itu dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pembuktian terbalik pernah terjadi ketika Khalifah Umar Bin Khaththab meminta Abu Hurairah menjelaskan asal-usul harta yang diperolehnya saat menjabat Gubernur Bahrain. Nukilan kisah Umar Bin Khaththab itu sebagai tersebut:
Ketika Abu Hurairah menghadap Umar bin Khaththab setelah kembali dari Bahrain, dia membawa 400.000 dinar. Kemudian Umar bertanya: “Apakah engkau menzalimi seseorang?” Abu Hurairah menjawab: “Tidak!” Umar bertanya: “Apakah engkau mengambil sesuatu yang bukan hakmu?” Abu Hurairah menjawab: “Tidak!” Umar kembali bertanya: “Berapa yang telah engkau ambil?” Abu Hurairah menjawab: “20.000!” Umar bertanya: “Dari mana engkau memperolehnya?” Abu Hurairah menjawab: “Saya berdagang!” Umar berkata: “Hitung modal pokokmu dan penghasilanmu. Ambil dan kembalikan sisanya ke Baitul Maal!”
Di kalangan NU juga ada aturan menarik mengenai agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. NU berpendapat, jenazah orang yang pernah dipenjara gara-gara kasus korupsi tidak perlu disalatkan oleh para ulama. Kalaupun disalatkan, cukup oleh Banser atau ormas di bawah NU saja. “Jenazah para koruptor cukup disalatkan oleh Banser atau Garda Bangsa saja,” kata Malik Madani. Menurut Malik, aturan itu bercermin dari riwayat Nabi Muhammad yang suatu ketika tidak mau menyalatkan jenazah orang yang pernah menyelewengkan harta rampasan perang. Harta rampasan perang sama artinya dengan kekayaan negara di era modern ini.
“Dulu Nabi tidak mau menyalatkan jenazah itu karena sebagai hukuman moral bagi yang bersangkutan. Selain itu, supaya orang lain tidak meniru apa yang dilakukan oleh koruptor. Semacam peringatan bila melakukan korupsi, jenazahnya tidak akan disalatkan Nabi,” jelas Malik seperti dikutip sebuah media.
Jadi, tidak disalatkannya jenazah koruptor itu untuk memberikan terapi kejut atau shock teraphy bagi mereka yang hendak melakukan korupsi. Namun, lanjut Malik, Nabi Muhammad tetap memerintahkan agar jenazah orang yang pernah korupsi disalatkan. Sebab, menyalatkan jenazah hukumnya wajib menurut Islam. Fatwa agar jenazah koruptor tidak disalatkan oleh ulama telah ditetapkan dalam Muktamar NU di Jakarta belum lama ini. Tidak itu saja sanksi bagi koruptor. Terkait kebijakan pemerintah memberikan potongan masa hukuman atau remisi terhadap para terpidana korupsi, KPK, bekas pimpinan KPK, dan berbagai elemen masyarakat lainnya juga mengecam pemberian remisi bagi para koruptor itu. Kalau demikian, masih adakah tempat bagi para koruptor di Indonesia? Masih adakah pejabat, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang berani coba-coba melakukan korupsi?
Seperti diketahui, bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-65 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2010, sebanyak 58.234 narapidana mendapatkan remisi. Dari jumlah itu, sebanyak 330 adalah narapidana kasus korupsi dan 11 orang di antaranya langsung bebas. Alasan pemberian remisi karena para narapidana berkelakuan baik, tidak pernah memiliki catatan buruk selama menjalani masa hukuman. Pemberian remisi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Mereka yang telah menjalani dua pertiga masa hukuman berhak mendapatkan remisi.

C. Fatwa Kelembagaan Indonesia tekait dengan hukuman mati atas tindak pidana tertentu
Mejelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati dalam tindak pidana tertentu dalam MUNAS MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26 Juli 2005 M. Di tinjau pada akhir-akhir ini sering diberitakan banyaknya hukuman mati yang dikenakan kepada pelaku pidana tertentu dan mengundang perhatian masyarakat serta menimbulkan pendapat yang kontroversi. Bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang paling berat yang dikenakan terhadap pelaku tindak kejahatn berat dan menyangkut berbagi pihak yang berwenang dan berkepentingan serta berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Berdasarkan kondisi masyrakat dan Negara yang memerlukan ketegasan hukum dan ketertiban masyarakat, MUI memandang perlu menetapkan Hukuman Mati Pada Tindak Pidana Tertentu untuk deijadikan sebagai pedoman. Islam mengakui eksistensi hukuman mati dan memberlakukannya dalam jarimah (tindak pidana) hudud, qishas dan ta'zir. Negara juga boleh melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan pidana tertentu. 

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Lembaga keagamaan Indonesia yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa hasil ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indone-sia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang Terorisme. Dengan menimbang, mengingat dan memperhatikan beberapa alasan MUI memutuskan mengeluarkan fatwa haram terhadap terorisme. Muhamadiyah dan NU sangat mengecam denga adanya terorisme yang meresahkan warga Negara kita.
Fatwa MUI tentang penerapan asas pembuktian terbalik pada dasaranya, seseorang terbebas dari dakwaan perbuatan salah sampai adanya pengakuan atau bukti-bukti lain yang menunjukan bahwa seseorang tersebut bersalah. Dengan demikian, fiqh Islam menganut asas praduga tak bersalah dalam hukum. Kewajiban pembuktian dibebankan kepada penyidik dan penuntut, sedang sumpah bagi orang yang mengingkarinya. Rekomendasi MUI, perlu dipertimbangkan untuk merevisi bebrapa ketentuan peraturan perundang-undangan, agar dimungkinkan adanya system pembuktian terbalik untuk menegakan kemaslahatan umum dan mencegah maraknya tindak pidana akibat kesulitan pembuktian material. Para penegak hukum juga diharapkan dapat menangani dan mengadili perkara korupsi sekalipun hanya menggunakan pendekatan pembuktian terbalik.
Mejelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati dalam tindak pidana tertentu dalam MUNAS MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26 Juli 2005 M. Di tinjau pada akhir-akhir ini sering diberitakan banyaknya hukuman mati yang dikenakan kepada pelaku pidana tertentu dan mengundang perhatian masyarakat serta menimbulkan pendapat yang kontroversi. Bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang paling berat yang dikenakan terhadap pelaku tindak kejahatn berat dan menyangkut berbagi pihak yang berwenang dan berkepentingan serta berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.


Daftar Pustaka
KUMPULAN FATWA-FATWA MUI, MUNAS VIII MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2010.
KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA, MUNAS VII TAHUN 2005.
http://pdpmkotayogya.multiply.com/journal/item/4
http://a.republika.co.id/rss/
KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONEISA NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG TERORISME MAJELIS ULAMA INDONESIA.
http://bataviase.co.id/node/287658
http://pendoposumaryoto.com/masih-adakah-tempat-bagi-koruptor/
http://www.suarakarya-online.com
http://www.suara-islam.com
http://cafe.degromies.com




.


0 Responses to " "

About the author

This is the area where you will put in information about who you are, your experience blogging, and what your blog is about. You aren't limited, however, to just putting a biography. You can put whatever you please.